Ilustrasi Masjid Nabawi di masa lampau. Foto: Atlas Haji dan Umrah.
REPUBLIKA.CO.ID – Pada masa Nabi SAW, sebelum ada syariat adzan,
muadzin Rasulullah menyeru kaum Muslimin dengan seruan, “Ash-Shalatu
jami’ah (mari shalat berjemaah)!”
Kaum Muslimin pun segera berkumpul. Adzan baru disyariatkan ketika
arah kiblat dipindah ke Ka’bah. Rasulullah sangat memerhatikan masalah
adzan ini.
Saat itu, sebagian kaum Muslimin mengusulkan agar ada media guna
menyeru orang-orang untuk shalat berjamaah. Sebagian mengusulkan
terompet, sebagian lainnya menyarankan lonceng.
Pada saat demikian, Abdullah bin Zaid Al-Khazraji datang pada
Rasulullah SAW dan berkata, “Tadi malam aku bermimpi. Ada seorang pria
berpakaian hijau membawa lonceng di tangannya. Aku pun bertanya, ‘Apakah
engkau menjual lonceng itu?’ Dia balik bertanya, ‘Untuk apa?’ Aku
menjawab, ‘Untuk memanggil orang-orang shalat berjamaah. ’ Dia berkata,
‘Maukah kuberi tahu media yang lebih baik daripada lonceng?’ Aku
bertanya, ‘Apa itu?’ Dia mengatakan, ‘Serukanlah Allahu Akbar, Allahu
Akbar—hingga akhir adzan.”
Mendengar cerita itu, Rasulullah SAW bersabda, “Insya Allah, mimpi
itu benar. “Berdirilah bersama Bilal. Ajarkanlah adzan itu padanya.
Suruh dia menyeru orang-orang dengan lafaz-lafaz adzan itu. Sebab,
suaranya lebih keras daripada suaramu.”
Ketika Bilal mengumandangkan adzan, Umar bin Khathab mendengar seruan
itu dari rumahnya. Dia pun segera pergi menemui Rasulullah. Umar
berkata, “Wahai Nabi Allah, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan
benar, aku telah bermimpi seperti mimpi yang dialami Abdullah bin Zaid
Al-Khazraji.”
Mendengar itu, Nabi SAW berkata, “Segala puji bagi Allah, hal itu lebih menguatkan.”
Pada masa Rasulullah, Masjid Nabawi—begitu pula pada masa Khulafaur
Rasyidin—belum memiliki menara adzan yang bisa dinaiki oleh muadzin
untuk mengumandangkan adzan. Dulu, Bilal bin Rabah mengumandangkan adzan
Subuh dari atas rumah salah seorang wanita Bani Najjar.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Urwah bin Az-Zubair, dari seorang wanita
Bani Najjar yang berkata, “Rumahku adalah bangunan paling tinggi di
sekitar masjid. Setiap pagi, Bilal mengumandangkan adzan Subuh dari atas
rumahku. Pada waktu sahur, Bilal datang. Lalu dia duduk di rumah
menunggu fajar. Ketika sudah melihat fajar, dia menegakkan badannya
kemudian berdoa, ‘Ya Allah, sungguh aku memuji-Mu dan meminta
pertolongan-Mu dari kaum Quraisy untuk menegakkan agama-Mu.’ Setelah itu
dia mengumandangkan adzan.”
Para ahli sejarah menyebutkan bahwa dulu Bilal mengumandangkan adzan
di atas tiang di rumah Abdullah bin Umar. Bilal naik ke tangga ketujuh
tiang itu di samping Masjid Nabawi.
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa kebutuhan untuk
mengumandangkan adzan dari tempat tinggi mendorong kaum muslimin di
Madinah memindahkan adzan dari atap masjid ke atap rumah sekitar masjid
yang lebih tinggi. Kemudian mereka kembali menggunakan atap masjid
dengan menambah ketinggiannya. Setelah itu, mereka membangun menara
adzan yang berbeda-beda ketinggiannya.
Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Hannan Putra
Sumber: Ensiklopedi Haji dan Umrah oleh Drs Ikhwan M.Ag dan Drs Abdul Halim M.Ag